
ACTNews, SERANG
– Murid-murid tampak menyenangi sosok yang mereka sebut Pak Abu. Mereka sesekali tertawa mendengar ceramahnya, namun tak jarang juga tertegun. Abu,
atau yang bernama asli Umar Abdul Aziz, pada hari itu menasihati murid-muridnya
soal waktu.
“Kalau kita menggunakan waktu kita
untuk bermain-main terus, tidak terasa waktu berjalan, dan kita ternyata sudah
tua. Saat itu kita menyesal,” pesan Abu kepada anak-anaknya pada Jumat (17/1)
lalu.
Di balik sosoknya yang
menyenangkan, Abu memang menyimpan beberapa kendala yang ia hadapi selama mengajar. Guru yang sehari-hari
mengajar di Yayasan Pendidikan Islam Mathlah’ul Anwar, di Kampung Kamarang, Kecamatan
Kopo, Kabupaten Serang ini juga tinggal di sekolahnya sendiri semenjak tiga bulan lalu.
Abu mengaku akan lebih menghemat
ongkos jika tinggal di sekolah. Ia berpenghasilan Rp300 ribu selama satu bulan. Sementara untuk ongkos sehari-hari, ia bisa menghabiskan Rp15 ribu. Pihak sekolah juga tidak merasa keberatan dengan permintaan Abu untuk tinggal di sekolah.
“Pak Abu memang tinggal di sini karena memang juga beliau tinggal sendiri di rumah. Meskipun ia punya 7 anak, tapi mereka tinggal dengan ibunya. Berhubung karena jarak dari sekolah ke rumah juga jauh dan ingin menghemat, jadi beliau tinggal di sini. Untuk makan ditanggung sekolah,” kata Aminudin sebagai Kepala Sekolah di Yayasan Pendidikan Islam Mathlah’ul Anwar.
Abu sedang mengajar para santri. (ACTNews/Reza Mardhani)
Keempat anaknya sudah bekerja dan
kerap membantu kehidupan Abu. Namun, Abu sendiri juga masih punya tanggungan 3
orang anak yang semuanya masih duduk di bangku sekolah. Kini mereka tinggal
dengan ibunya karena Abu dan istrinya sudah berpisah. Beberapa kali Abu
menggambarkan rumah tangganya seperti memikul.
“Saya membawa pikulan dan berjalan
jauh, tapi sambil berjalan saya tidak sadar pikulannya tidak kuat. Lama-lama
patah,” ujarnya sembari tertawa.
Namun begitu, sehari-harinya ia
masih terus bersemangat mengampu mata pelajaran agama di lembaga-lembaga formal
Mathlah’ul Anwar serta pondok pesantrennya. Ia telah masuk ke dunia pendidikan
dan mengajar agama sejak 1987 dan terus berstatus honorer karena ijazah SMP-nya
bermasalah.
“Harapan bapak cuma satu saja,
ingin mengharapkan rida Allah. Kalau masalah harta, seperti itu adaya saya syukuri
saja. Memang tidak munafik juga, terkadang kalau kita tidak punya doktrin
agama, tentu timbulnya putus asa dan akibatnya buruk,” kata Abu.
Rasa syukur Abu berbuah rezeki. Pada hari itu ia menerima apresiasi dari Global Zakat – Aksi Cepat Tanggap (ACT) karena dedikasinya dalam mengajar. Tiga guru lainnya dari Yayasan Pendidikan Islam Mathlah’ul Anwar yang mendapatkan bantuan serupa.
“Kalau ada yang menggerakannya
(kepedulian mayarakat) seperti Global Zakat – ACT ini, sangat bagus. Jadi bisa
terangkat dan penerima manfaat merasa terbantu. Mendapatkan angin segar.
Alhamdulillah, ada (apresiasi) untuk membangkitkan semangat,” kata Abu.
Selesai mengajar, Abu dan Aminudin mengajak ACTNews ke rumah Abu untuk mengecek keadaan rumahnya. Pada awal tahun lalu, rumah Abu terkena banjir besar dan hingga kini lumpur masih menggenang di dalam dan di kebun depan rumahnya.
Abu sedang mengambil pepaya yang tumbuh di depan rumahnya. (ACTNews/Reza Mardhani)
“Mungkin akhir pekan nanti
baru akan saya bersihkan, lagi pula tidak ada yang tinggal juga di sini,” kata Abu.
Saking lamanya ia tidak pulang, pohon jambu dan pepaya sudah berbuah lebat dan siap dipetik. Laki-laki berumur 60 tahunan itu menapaki salah satu pohon, kemudian mengambil jambu sekaligus merontokkan beberapa pepaya dan memberikannya pada kami serta beberapa orang sekitar. Abu memang memikul banyak beban, tapi bukan itu yang diperlihatkannya pada orang-orang. []