ACTNews, BOGOR –
Telah empat tahun usaha tempe dengan merek Echo Raos dijalankan Sudianto.
Selama karirnya itu, bapak satu anak ini mampu menghidupi keluarga serta menggelar
kegiatan sosial di lingkungan tempat tinggalnya di Desa Iwul, Parung, Kabupaten
Bogor. Ia pun bisa mengajak dua sampai tiga orang kerabatnya untuk ikut bekerja
bersama dan mendapatkan penghasilan. Pelanggan hingga reseller pun telah terbangun dengan baik.
Dalam
sehari, produksi tempe Sudianto bisa mencapai 50 kilogram. Dari jumlah
tersebut, pria asal Cilacap ini mampu menghasilkan sampai ratusan balok tempe. Per
balok tempe Echo Raos di pasaran harganya Rp8 ribu - Rp15 ribu. Agak tinggi dibandingkan
dengan harga tempe pada umumnya memang. Namun, Sudianto memastikan kualitas
tempe buatannya bersih dan menggunakan kedelai pilihan.
Area
pemasaran tempe buatan Sudianto pun telah meluas. Tak hanya di Parung saja, tapi juga hingga ke Kota Bogor,
Depok, hingga Jakarta. Kualitas menjadi pokok utama usaha Sudianto. Ia tak
segan memberikan ganti tempe dengan kualitas terbaik secara gratis jika ada
konsumennya yang merasa tak puas.
“Makanya
di kemasan tempe saya kasih nomor kontak, biar kalau pelanggan ini kasih kritik
dan saran bisa dengan mudah,” jelasnya saat ACTNews
berkunjung ke rumahnya yang juga menjadi tempat produksi tempe, Selasa (7/10).
Namun,
produksi tempe Echo Raos sedang mengalami hambatan akibat pandemi Covid-19 yang
telah berlangsung lebih dari setengah tahun ini. Harga kedelai, khususnya
import, sebelum pandemi telah mengalami naik-turun, dan kini kondisi tersebut
semakin memburuk karena lebih sering mengalami kenaikan. Pada Selasa kemarin,
kedelai import yang Sudianto olah ia dapatkan dengan harga Rp7.800 per kilogram. Harga
tersebut lebih baik dibandingkan beberapa bulan lalu saat pembatasan sosial
berskala besar sedang dilakukan secara ketat, per kilogram bisa mencapai
Rp8.500. Dengan naiknya harga kedelai, pilihan berat bagi Sudianto untuk
menaikan harga produk tempenya atau mengurangi berat per balok, dan pilihan pun
jatuh pada pengurangan berat, tapi kualitas tempe tetap ia pertahankan.
Di
tengah ujian yang sedang melanda usaha Sudianto, semangat untuk bangkit
selalu ia gaungkan dalam dirinya. Bangkit yang dimaksud dalam usaha tempe itu
ialah mampu meningkatkan kapasitas produksi, walau di tengah pandemi. Hal
tersebut dilakukan demi menyongsong era baru saat pandemi ini berakhir.
“Cita-cita
saya dengan adanya usaha pembuatan tempe ini bisa membuka lapangan pekerjaan
baru,” harap Sudianto.
Ikhtiar Sudianto mewujudkan cita-cita baiknya ini salah satunya dengan terlibat dalam program Wakaf Modal Usaha Mikro dari Global Wakaf-ACT. Permodalan tanpa bunga ini telah ia terima dan sudah dibelanjakan material untuk membangun ruang baru pembuatan tempe. Harapannya, tempat pembuatan tempenya bisa lebih luas lagi, dengan begitu akan dengan mudah meningkatkan kapasitas produksi. “Semoga pandemi juga segera berakhir,” ungkapnya.[]