
ACTNews, JAKARTA
– "Sehat itu mahal", kalimat yang cukup sering terlontar oleh masyarakat Indonesia ketika akses kesehatan
masih belum bisa dinikmati semua orang. Terutama mereka yang berasal dari
keluarga prasejahtera. Nurmah (72) misalnya, ia menceritakan ingin sekali ke
dokter untuk memeriksa kakinya. Saat tim Aksi Cepat Tanggap menemuinya, Nurmah
memang nampak kesulitan berjalan. Sesekali ia menghentikan langkahnya untuk
sekadar memijit kecil kakinya yang sakit.
"Mau ke
dokter, mau periksa ini kakinya. Tapi enggak punya duit. Boro-boro ke dokter,
buat makan saja susah. Ke dokter kan enggak bisa 10-20 ribu, (rupiah)," ujar Nurmah.
Saat ditanya kenapa tidak ke puskesmas untuk memperoleh layanan kesehatan yang lebih murah, Nurmah menjelaskan, ia tidak memiliki berkas-berkas yang diperlukan untuk berobat ke puskesmas. Di usia tuanya, wajar bagi Nurmah tidak paham proses pengurusan administrasi untuk berobat di era sekarang. Ditambah ia hidup sendiri dan tidak memiliki satu pun anak. Kondisi ini membuatnya tak memiliki seseorang yang dapat mengantar dan membantunya dalam proses mendapatkan layanan kesehatan.
Nurmah tidak
sendiri, masih banyak warga prasejahtera lainnya yang kesulitan untuk mendapat
layanan kesehatan. Pendapatan mereka yang terlalu sedikit, tak dapat
mengimbangi biaya kesehatan yang melonjak. Hal ini pun telah diakui pemerintah. Maret lalu, Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin menyatakan,
pada tahun 2021 ini, biaya kesehatan mengalami kenaikan lebih cepat ketimbang
pertumbuhan ekonomi.
Namun, mahalnya
biaya kesehatan ini juga tidak sejalan dengan peningkatan kesehatan masyarakat.
"Jadi kadang kita bertanya, apakah uang yang dikeluarkan baik individu
atau negara, ini bukan untuk menambah dia sehat tapi untuk bayar obat, rumah
sakit dan Dokter. Ini harus kita lihat produktivitasnya," ujar Budi.
Berdasarkan hasil
survei bertajuk 2021 Global Medical Trends Survey yang dilakukan perusahaan
konsultasi global Willis Towers Watson, akan terjadi peningkatan biaya
kesehatan hingga 12 persen pada 2021. Senada dengan survei tersebut, Lifepal dalam hasil risetnya juga menyatakan bahwa setiap tahunnya, biaya kesehatan di
Indonesia selalu mengalami kenaikan jauh melebihi tingkat inflasi. Berarti, kenaikan
lebih tinggi ketimbang harga-harga kebutuhan lain.
Dalam riset
tersebut, Lifepal juga menghitung perbandingan kenaikan biaya kesehatan, dengan
persentase jumlah total rata-rata upah buruh atau pegawai di Indonesia. Hasilnya,
rata-rata kenaikan gaji bersih buruh atau pegawai per tahun adalah 4,3 persen.
Persentase kenaikan ini dinilai tidak sebanding dengan kenaikan biaya kesehatan
yang mencapai 10 hingga 11 persen tiap tahunnya.
Hal ini tentu memberatkan para buruh. Dengan upah mereka yang pas-pasan, mendapat layanan kesehatan yang layak menjadi cukup sulit. Sebab, upah mereka juga harus digunakan untuk menanggung kebutuhan sehari-hari keluara sederhana mereka. []