ACTNews, MAMUJU –
Riuh anak-anak terdengar dari pelataran sebuah sekolah yang tak jauh dari
Kantor Desa Karampuang, Kecamatan Mamuju, Kabupaten Mamuju pada akhir Januari
lalu. Sorak sorai mereka menyanyikan lagu tentang gempa. Tangan kecil lihai mempraktekkan
seperti yang ada di dalam lirik, mulai dari lindungi kepala, bersembunyi di
kolong meja, menjauhi kaca hingga berlari ke tempat terbuka. Wajah mereka di
hari itu sangat gembira karena bisa berkumpul bersama teman seusia dan relawan
pendamping dari Aksi Cepat Tanggap (ACT). Akan tetapi, di balik wajah ceria itu,
ada duka dan ketakutan yang masih tersimpan hingga hari ini karena gempa
magnitudo 6,2.
Anak-anak
di Karampuang jumlahnya cukup banyak. Ketika gempa terjadi pada Jumat
(15/1/2021) dini hari, mereka segera diajak mengungsi oleh orang tuanya menuju
perbukitan yang ada di pulau tersebut. Tenda terpal menjadi tempat bernaung
bersama para penyintas dari beragam usia. Kondisi ini tentu tak nyaman dan
kurang baik bagi anak-anak yang sedang menjalani tumbuh kembang dan dikhawatirkan
akan membuat trauma berkepanjangan.
“Bencana
alam mampu membuat anak-anak mengalami ketakutan yang berkepanjangan. Kami menemukan
beberapa anak yang tidak berani lagi mendekat ke bangunan,” jelas Dokter Muhammad
Riedha Bambang dari tim Humanity Medical Services-ACT, Ahad (7/2/2021).
Di
tempat lain, tim HMS-ACT juga menemukan anak-anak yang mengalami ketakutan
serupa, khususnya mereka yang menjadi penyintas tak jauh dari jalur trans
Sulawesi. Di jalan tersebut sering kali kendaraan besar melintas dan
menimbulkan getaran. Hal ini lah yang kemudian membuat anak-anak lebih tak
tenang dan mengalami ketakutan yang lebih hebat dibanding anak-anak yang
menjadi penyintas bersama orang tuanya jauh dari keramaian.
Salah
satu anak yang masih mengalami ketakutan berkepanjangan ialah putri ketiga
Nurdina, warga Desa Saletto, Kecamatan Simboro, Kabupaten Mamuju, yang baru
berusia 2 tahun. Rumahnya yang mengalami kerusakan berat akibat gempa berada
tepat di tepi Jalan Poros Mamuju-Majene, begitu juga tenda untuk mengungsi
berdiri pas di depan rumah yang hancur tersebut. Nurdina mengatakan, anaknya
tak pernah tenang, mudah terbangun ketika tidur, dan mudah menangis apalagi
ketika kendaraan besar melintas yang menimbulkan getaran serupa gempa.
Melihat
banyaknya ketakutan yang tak hanya dirasakan orang dewasa, tapi juga anak-anak,
membuat tim Humanity Medical Services, di sela pelayanan kesehatannya, menggelar
pendampingan psikososial untuk anak-anak. Aksi ini dilakukan di kantong-kantong
pengungsian penyintas di Mamuju dan Majene. Bermain, menyanyi serta hadiah kecil
menjadi hiburan bagi mereka untuk mengalihkan dari bayanga ketakutan.
“Dengan
pendampingan psikososial diharapkan mampu meredam rasa takut anak-anak dari
pengalaman mereka yang langsung merasakan bencana besar di sini,” harap Dokter
Riedha.[]