ACTNews, JAKARTA – Baru-baru
ini, Disaster Management Institute of Indonesia (DMII) - ACT merilis dampak kekeringan
yang telah melanda Indonesia. Per 22 Juli 2019, kemarau telah membuat 55
kabupaten/kota menyalakan alarm siaga darurat kekeringan. Dampaknya, ribuan
warga terpaksa mengalami kesulitan air. Di banyak daerah, warga harus menempuh
jarak puluhan hingga ratusan meter demi mendapatkan air, walau kualitasnya
kurang baik.
Direktur DMII-ACT Wahyu Novyan mengatakan, dampak kekeringan terparah di musim kemarau tahun 2019 ini terjadi
di Pulau Jawa. Sebagian besar kota-kota di Jawa telah mengalami fenomena hari
tanpa hujan (HTH) sejak beberapa bulan silam.
“Kota di Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, hingga Banten sudah mengalami kemarau terlebih dahulu. WIlayah-wilayah sudah tak diguyur hujan setidaknya dalam kurun waktu tiga hingga empat bulan terakhir,” jelas Wahyu, Senin (29/7).
Kondisi ini terpantau salah satunya di Kecamatan Cibarusah,
Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Kecamatan yang berjarak lebih kurang 50 kilometer
atau dapat ditempuh dalam waktu sekitar 3 jam dari Jakarta tersebut tak
diguyur hujan selama empat bulan. Erik Setiawan, salah satu anggota karang
taruna Desa Ridogalih, Kecamatan Cibarusah, menuturkan kepada Aksi Cepat Tanggap (ACT), hujan sudah
tak turun sekitar satu bulan sebelum Ramadan tiba. Itu artinya akhir Maret
hingga April hujan mulai jarang turun bahkan tak lagi mengguyur Cibarusah
hingga hari ini.
Dampaknya beragam, mengubah pola hidup masyakarakat serta perekonomian warga. “Yang pasti, warga sekarang sangat jarang menggunakan air bersih selain untuk hal yang sangat mendesak. Selain itu, terdapat juga peralihan profesi warga selama kemarau ini. Sebelumnya mereka bertani, namun sekarang menjadi kuli bangunan atau penambang pasir di sungai yang tentu mempengaruhi pendapatan keluarganya,” jelas Erik.
Perubahan pola hidup di Kecamatan Cibarusah merupakan satu dari sekian contoh
kasus yang muncul selama kemarau berlangsung. Pemicunya berawal dari kurangnya pasokan air sehari-hari. Sungai yang
menjadi andalan warga ketika kemarau pun kini tak dapat dijadikan sumber air.
Pasalnya, pencemaran yang terjadi di sungai-sungai besar di Jawa telah
menurunkan kualitas air itu sendiri.
Dalam rilis DMII itu, yang bersumber dari data
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia tahun 2012, menyebut sebagian
besar air sungai di Jawa masuk dalam level III hingga IV. Itu artinya kualitas
air cukup buruk karena bercampurnya limbah, baik industri maupun rumah
tangga, ke dalam aliran sungai. Jika di musim kemarau masyarakat dipaksakan
menggunakan sungai-sungai yang tercemar itu, dampak buruk terhadap kesehatan
akan muncul.
Masih di Cibarusah, di kecamatan yang dapat
menjadi alternatif jalur dari Jakarta menuju Cikarang atau Purwakarta ini
membentang sungai Cipangkis yang lebar. Sungai ini dapat menjadi pasokan air utama untuk lahan-lahan pertanian di sepanjang alirannya. Akan tetapi, saat kemarau seperti
sekarang ini, debit air berkurang drastis. Kondisi ini menyisakan tumpukan sampah serta air
yang berwarna hijau dengan busa.
Situasi ini, menurut Wahyu, menggambarkan luasnya dampak kekeringan. “Dampak luas kekeringan merambah
berbagai aspek karena kondisi sungai yang tak lagi mendukung,” tambahnya.
Mengandalkan bantuan air
Berkurangnya debit serta tercemarnya air sungai
berdampak buruk bagi warga. Mereka tak dapat mengandalkan sungai. Sementara itu, sumur-sumur masyarakat mengering dan tak dapat mengeluarkan air. warga bahkan perlu
mengebor lebih dalam hingga puluhan meter untuk mendapatkan titik sumber air
dalam sumur. Namun, biaya yang besar membuat warga urung melakukan pengeboran. Selain itu, hasilnya pun tak pasti.
Untuk itu, bantuan air dari berbagai pihak jadi
salah satu harapan warga. Pasalnya, jika warga membeli, biaya yang harus
dikeluarkan tentunya cukup tinggi. Hal itu mengingat kebutuhan air bersih dari
pedagang meningkat di musim kemarau karena tak ada sumber air lain.
ACT melalui kantor perwakilannya di berbagai daerah hingga akhir Juli ini telah mendistribusikan ratusan ribu liter air bersih. Dari data Global Zakat-ACT per 27 Juli 2019, jumlah air yang terdistribusi mencapai 642.700 liter. Angka ini tentunya akan terus meningkat seiring meningkatnya permintaan air bersih, terlebih menjelang pucak kemarau yang diperkirakan jatuh pada Agustus mendatang.