
ACTNews, JAKARTA – Di saat tubuh selama 72 jam tak mendapatkan nutrisi dari makanan baru, akan terjadi kematian sel-sel. Hal ini memungkinkan tubuh memecah lemak dalam jumlah yang banyak dan menyebabkan kondisi ketosis. Ketosis sendiri memiliki arti tubuh menggunakan lemak sebagai sumber energi utama, padahal umumnya mekanisme tersebut menggunakan karbohidrat. Keadaan seperti ini lazim kita sebut sebagai kelaparan. Jika dibiarkan, seakan menjadi cara untuk seseorang kehilangan nyawa secara kejam.
Yang menyedihkan,
hal itulah yang saat ini tengah terjadi di Tigray, sebuah wilayah di bagian
utara Ethiopia, Afrika. Berdasarkan laporan BBC pada 11 Juni lalu,
Kepala Bidang Kemanusiaan PBB, Mark Lowcock menyebut bencana kelaparan sedang
melanda Tigray, dan diprediksi kondisinya akan terus bertambah parah.
Kelaparan tersebut,
selain di Tigray, juga melanda dua wilayah tetangganya, Amhara dan Afar. Di
mana, sebanyak 350 ribu orang hidup dalam kondisi krisis parah. Hal tersebut diperparah
karena Tigray mengalami porak-poranda dampak konflik yang terjadi di sana. Dalam
analisis mengenai situasi kawasan Tigray, Lowcock menyebut, kondisi pangan telah
mencapai taraf “bencana” akibat kelaparan dan kematian di kawasan yang luas.
Dalam sajian
laporannya, BBC menceritakan juga bahwa penduduk di Qafta Humera, salah
satu distrik terisolasi di bagian barat Tigray tengah dalam kelaparan parah.
Tak ada seorang pun yang memberikan bantuan kepada penduduk di sana. Hampir
semua warga bersiap bertemu dengan ajal akibat kelaparan. “Kematian sedang
mengetuk pintu kami,” kata salah seorang warga.
Di tahun 1984,
Tigray jadi salah satu titik pusat bencana kelaparan akibat kekeringan dan
konflik yang mengakibatkan 600 ribu sampai 1 juta orang meninggal dunia.[]