
ACTNews, GAZA
– Ketika matahari belum muncul di ufuk timur, langkah Khitam Ismail (49) sudah
mantap bergerak menanjak ke area perbukitan di Tepi Barat. Ibu dari tiga anak
ini hendak pergi ke lahan pertaniannya di daerah Khallet al-Abhar di Deir
Ballout. Lima kilometer jarak yang Ismail tempuh. Di hadapannya, terpampang
barisan pohon zaitun yang dijadikan sumber penghasilan untuk menyekolahkan
ketiga anaknya.
Rutinitas sebagai
petani pohon zaitun, telah ia pertahankan selama puluhan tahun. Ketika bekerja,
air mata jatuh dari wajah Ismail. Ia mengenang bagaimana saat ini jumlah
lahannya telah jauh berkurang dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Pada 6 Desember
lalu, buldoser Israel dan puluhan personel angkatan bersenjata menyerbu lahan
pertanian milik petani di Tepi Barat. Lahan milik Ismail menjadi salah satunya.
Sejumlah 3.400 pohon zaitun hancur dalam satu hari. Menjadikan penghancuran
tersebut sebagai salah satu yang terbesar, sampai saat ini, di Tepi Barat.
Tangisan Ismail
semakin menjadi-jadi mengingat tanaman yang dihancurkan merupakan pohon zaitun
yang telah ia rawat selama lebih dari satu dekade. Dalam penyerbuan tersebut,
buldoser Israel juga meratakan ratusan dunam (1 dunam, sama dengan 1.000 meter)
lahan milik petani Palestina. Warga sekitar khawatir lahan tersebut akan disita
dan digunakan sebagai tempat pembangunan ilegal untuk pemukim Israel.
“Hanya dalam lima jam, mereka menghancurkan semua kerja keras yang kami lakukan selama beberapa tahun terakhir. Mereka tidak puas hanya dengan itu, mereka bahkan menyita pohon-pohon setelah dicabut. Beberapa ditebang dan disemprot dengan bahan kimia untuk membunuh tanaman yang tersisa," kata Ismail, menggambarkan kejadian 6 Desember ketika tentara Israel menghancurkan sebagian tanahnya.
Selain pohon zaitun, angkatan bersenjata Israel juga menghancurkan 40 pohon almond, 40 pohon ara, dan 30 tanaman anggur yang tumbuh di lahan milik Ismail. Dia memperkirakan, kerugiannya mencapai sekitar 300.000 shekel atau sekitar Rp1,3 miliar. Ismail bercerita, mimpinya untuk menyekolahkan anaknya hingga jenjang perguruan tinggi, telah pupus saat itu.
Lahan hancur, ketahanan pangan meluncur
Apa yang terjadi
pada Ismail, turut terjadi pula pada petani Palestina yang lain. Tidak hanya di
Tepi Barat, namun juga di Gaza. Gaza yang memiliki luas sekitar 365 kilometer
persegi dihuni oleh banyak warga yang menggantungkan hidupnya sebagai seorang petani.
Dalam serangan 11
hari zionis Israel ke Gaza pada Mei lalu, misil pesawat tempur Israel turut
menargetkan lahan-lahan pertanian di Gaza. Kementerian Pertanian Palestina
menyatakan, tidak hanya membuat para petani gagal panen dan mengalami kerugian
besar, serangan tersebut juga membuat para peternak kehilangan sumber pakan.
Tidak hanya
melalui serangan langsung, Israel juga menghancurkan sektor pertanian melalui
berbagai kebijakan nyelenehnya. Pascaserangan, para petani di Gaza dilarang
oleh Israel untuk keluar rumah guna merawat lahannya. Alhasil banyak lahan yang
akhirnya tidak terawat sebab tidak mendapat siraman air secara berkala.
Petani di Gaza,
Suhail al Masri menceritakan, kebun buah persiknya hampir matang saat larangan
Israel muncul. Selama pelarangan, Masri tidak pergi ke kebunnya yang berada di
wilayah Khan Younis, di Gaza selatan. Dia tidak bisa mengairi tanah atau
mengumpulkan hasil panen. Harapannya untuk menikmati panen yang melimpah ruah
telah kandas, 80 persen hasil panennya busuk.
Tidak berhenti di
situ, awal Juli lalu, otoritas Israel membuat kebijakan baru terkait ekspor
tomat keluar Gaza. Para petani harus mencabut sepal atau mahkota tomat sebelum
diekspor. Jika tidak, tomat-tomat tersebut tidak akan diizinkan keluar dari
Gaza.
Hal tersebut tentu sangat merugikan para petani. Sebab, mencabut mahkota tomat satu persatu akan menghabiskan waktu yang cukup lama. Selain itu, dengan mencabut mahkota tomat, akan membuat buat tersebut membusuk lebih cepat.
"Kami
terkejut ketika Israel memerintahkan bahwa tomat-tomat yang akan diekspor harus
tanpa mahkota. Tomat tanpa mahkota, artinya buahnya tidak akan berguna untuk
konsumen. Sehingga kami berhenti mengekspor karena pembatasan yang sangat
keras. Pembatasan yang tidak mungkin ini, memiliki arti bahwa Israel tidak
ingin produk di Gaza diekspor ke luar," ujar Saleem, salah satu petani
tomat di Gaza.
Kementerian
Pertanian Palestina menyebut kebijakan Israel mengada-ada, dan hanya bertujuan
menghancurkan sektor pertanian tomat. Sebab, pencabutan mahkota tomat tidak
sesuai pada standar ilmiah. Tidak ada hubungannya dengan sains, ilmu produksi,
teknologi, serta dengan kebersihan dan kualitas tanaman.
General Manager di
Kementerian Pertanian Palestina, Nizar Alwhaidi menilai, kondisi iklim di Gaza
sejatinya sangat mendukung untuk sektor pertanian. Berbagai jenis tanaman dapat
tumbuh dengan subur di tanah Gaza. Namun, menurut Nizar, menjadi petani di Gaza
adalah pekerjaan yang sangat sulit. Sebab, zionis Israel menggunakan sektor
pertanian sebagai sarana tekanan untuk mendisiplinkan warga Gaza yang mulai
mencoba perlawanan.
"Israel
sengaja memukul infrastruktur di sektor pertanian. Dari tiap agresi yang
dilakukan, mereka turut menargetkan pertanian. Dari perspektif pribadi saya,
kehancuran pertanian adalah kehancuran bagi sistem ketahanan pangan di mana
warga Palestina tinggal," jelas Nizar.
Kehancuran sektor pertanian, membuat para petani tidak mampu memenuhi kebutuhan pasokan pangan warga Palestina. Pasokan yang sedikit pun secara tidak langsung menyebabkan harga pangan melonjak. Bagi warga Palestina yang mayoritas adalah keluarga prasejahtera, membeli pangan bisa menjadi salah satu anggaran terbesar keluarganya.
Laut Turut Jadi Sasaran
Pangan bukan hanya
didapat dari sektor pertanian, tetapi juga perikanan. Warga Palestina khususnya
di Gaza, banyak pula yang seorang nelayan. Sebagaimana diketahui, wilayah Gaza
berbatasan langsung dengan Laut Mediterania. Banyak warga yang masih sangat
bergantung dari hasil tangkapan laut untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Namun, sayangnya sektor perikanan turut menjadi sasaran dalam angkara zionis Israel. Blokade yang dilakukan di Gaza, tidak hanya berlaku di darat. Namun juga di laut. Berdasarkan perjanjian Oslo yang ditandatangani pada awal 1990-an, Israel hanya mengizinkan kapal nelayan Palestina berlayar sejauh 20 mil laut (37 km). Namun, kenyataan justru berbeda. Israel hanya mengizinkan nelayan Gaza untuk melaut paling jauh sepanjang 12 mil laut (22km) dari bibir pantai.
Nelayan Gaza di kapal sederhana. (UNRWA/Tamer Hamam)
Dalam beberapa
kesempatan, otoritas Israel bahkan sering melarang nelayan Gaza untuk melaut
dalam periode waktu tertentu. Ketidakstabilan ini mempengaruhi mata pencaharian
sekitar 4.000 nelayan, keluarga mereka, dan ribuan orang lainnya yang terlibat
dalam industri ini. Bagi mereka yang melawan dan memaksa untuk melaut, Israel
tanpa ragu akan menembakkan peluru tajam ke arah para nelayan. Hal ini beberapa
kali terjadi, menyebabkan banyak nelayan yang tewas atau terluka, dan kapal
mereka tenggelam di laut.
Khaled al-Habil
(55) merupakan salah satu nelayan Gaza yang telah menjalani profesinya sejak ia
kecil. Khaled mewarisi pekerjaannya tersebut dari ayah dan kakeknya yang secara
turun temurun menjadi nelayan. Keluarga Khaled terkena dampak langsung dari
pembatasan zona penangkapan ikan Gaza. Jumlah hasil laut seperti ikan, udang,
hingga kerang yang bisa ia tangkap terus berkurang tiap tahunnya.
"Memancing adalah satu-satunya ketrampilan yang kami kuasai, tetapi blokade tidak memungkinkan kami untuk menjalankan profesi kami dengan damai dan nyaman,” kata Khaled.
Permasalahan
nelayan, disebut Khaled bukan hanya pembatasan jarak melaut, namun juga
sulitnya mendapatkan suku cadang mesin kapal di Gaza. Khaled menceritakan, ia
dan keluarganya sebenarnya memiliki kapal berukuran cukup besar untuk menangkap
ikan dalam jumlah yang lumayan banyak. Namun, kapal tersebut telah rusak dan
tidak digunakan dalam dua tahun terakhir.
Bukan tak ingin memperbaikinya, namun Khaled tak bisa mendapatkan suku cadang untuk memperbaiki kapal tersebut. "Kekurangan peralatan yang parah dan pencegahan masuknya nelayan ke Jalur Gaza adalah apa yang seharusnya mereka (otoritas Israel) tangani,” ujar Khaled.
Tak Miliki Hak untuk Melawan
Berada di bawah
bayang-bayang penjajahan Israel, membuat warga Palestina kehilangan hak untuk
memprotes segala kebijakan yang telah merugikan hidup mereka. Jika memaksa
untuk melawan, maka Israel akan membalas dengan serangan brutal kepada mereka.
Pada akhir Agustus
lalu misalnya. Ratusan warga Palestina yang berdemonstrasi di dekat pagar
pembatas Israel yang mengelilingi Jalur Gaza. Mereka menuntun pelonggaran
blokade di Gaza yang telah berlangsung sejak tahun 2007. Namun, protes yang
secara keseluruhan berlangsung damai tersebut, justru dibalas tembakkan peluru
tajam oleh Israel. Seorang anak berusia 12 tahun meninggal dan belasan warga
Gaza lainnya terluka.
Tidak lama
berselang dari jalannya protes, pesawat
tempur Israel menembakkan empat misil ke dua lokasi berbeda di Gaza. Tepatnya
di Jalan Shuhada di selatan Kota Gaza dan Kota Beit Hanoun di Gaza Utara.
Imbasnya, kerusakan hebat dan kebakaran terjadi pada bangunan dan lahan-lahan
di wilayah terdampak.
Peristiwa
tersebut, hanya satu dari banyaknya serangan Israel yang dilakukan usai
datangnya protes dari warga Palestina. Membuat warga Palestina tidak berdaya
dalam memperjuangkan kebutuhan pangan mereka.
Program Pangan
Dunia (WFP) bahkan menyatakan bahwa pada 2021 ini, hampir tujuh dari sepuluh
warga di Gaza termasuk masyarakat prasejahtera, setengah dari angkatan kerja
tidak memiliki pekerjaan. Membuat mereka tak memiliki biaya yang cukup untuk
membeli makanan, dan menyebabkan tujuh dari sepuluh keluarga di Gaza mengalami
kerawanan pangan.[]