ACTNews, JAKARTA – Sambil
menatap kokohnya gedung pencakar langit di sepanjang jalan utama Jakarta,
Kadir menuturkan perjuangan dirinya dan teman-temannya sesama guru untuk pendidikan
di Alor, Nusa Tenggara Timur. Seharian itu, Jumat (26/7), Kadir serta
santri-santri dari Alor yang berkesempatan melanjutkan bersekolah di Jakarta
diajak mengunjungi ikon-ikon ibu kota.
Aksi Cepat Tanggap (ACT) berkesempatan mengobrol
bersama Kadir dan beberapa santri yang ikut perjalanan keliling Jakarta Jumat
itu. Sembari mengomentari megahnya gedung perkantoran di ruas Rasuna Said, Kepala Madrasah Ibtidaiyah Swasta Timuabang, Alor, Nusa Tenggara Timur, itu berkelakar. “Di Alor tidak ada seperti ini. Kami awal mendirikan sekolah
belajarnya di alam, tak ada ruang kelas. Anak-anak diajak belajar di pinggiran
pantai sambil melihat pemandangan laut sekitar Pulau Pura yang indah,” kata
Kadir mengenang awal beridirinya MIS Timuabang pada 2011 silam.
Pria kelahiran Alor yang tumbuh besar di Jember, Jawa Timur, tersebut merupakan salah satu perintis berdirinya sekolah berbasis keislaman di Pulau Pura, Alor. Sekolah yang awalnya tidak memiliki gedung ini, baru memiliki kelas beberapa tahun setelahnya. Di tahun-tahun awal berdirinya MIS Timuabang, para guru dan siswa menumpang di koperasi unit desa yang tak lagi terpakai. Murid-murid diajak ke sana untuk menimba ilmu agama serta umum.
Bersama lima orang lainnya, termasuk istri
Kadir, mereka merintis MIS di Timuabang. “Tak mudah,” ungkapan Kadir saat
ditanya apa yang menjadi tantangan merintis sekolah. Berbagai tentangan datang
dari warga sekitar, khususnya mereka yang memiliki pendidikan tinggi di luar
Alor. Alasannya, Kadir mengutarakan, mereka tak mau diajak mengajar di MIS Timuabang karena tak digaji.
Guru-guru yang merintis MIS Timuabang pada 9 tahun
lalu itu memang tak digaji. Bahkan, hingga sekarang pun guru yang mengajar di MIS Timuabang tak memiliki gaji tetap. Mereka mengabdikan dirinya untuk pendidikan
Alor, walau tanpa pendapatan sekalipun. Kadir mengatakan, saat ini ada satu
donatur tetap yang tiap bulannya memberikan sembako kepada guru. “Itu lah yang
menjadi gaji mereka,” ungkap Kadir, Jumat (26/9).
Di bawah tentangan orang-orang sekitar MIS Timuabang, Kadir dan guru-guru lainnya tak mengenal lelah meyakinkan warga
bahwa pendidikan dapat mengubah nasib mereka. Bertahun-tahun Kadir lalui guna
meluluhkan hati pihak-pihak yang menyukai keberadaan pendidikan di Timuabang. “Bukan
karena sekolah ini berbasis agama, tapi karena mereka yang tak suka melihat guru-gurunya tak diberikan gaji. Padahal, semua murid pun tak dibebankan untuk
membayar pendidikan,” ungkap Kadir saat menyambangi Museum Nasional. Kadir
mengaku telah dua kali ke tempat itu, sedangkan santri-santri lain yang juga
ikut di hari itu baru pertama kali melihat Monas.
Enam orang, termasuk Kadir, saat merintis MIS Timuabang tak semua berlatar belakang pendidikan tinggi. Sebagian dari mereka hanya lulusan sekolah menengah, atau bahkan di bawahnya yang mengejar pendidikan dengan paket. Walau begitu, semangat dan keikhlasan mereka begitu kuat untuk membangun pendidikan di Timuabang. Jerih payah mereka membangun sekolah MIS Timuabang membuahkan hasil. Kini murid-murid di sekolah itu sudah puluhan. Bahkan, sekolah tersebut telah melahirkan murid berprestasi di tingkat nasional.
Perkenalan dengan ACT
Keberadaan Kadir, Abdullah sebagai guru MIS Timuabang,
serta murid-muridnya di Jakarta merupakan kelanjutan dari program PEndidikan Tepian Negeri
ACT. Terhitung sejak pekan ketiga Juli 2019 ini, enam anak didik Kadir melanjutkan sekolah di Jakarta. Mereka akan
belajar di bawah binaan Fath Institute di Jakarta dan Bogor, Jawa Barat.
Sebelumnya, tepat tahun 2014 lalu, ACT mendarat di tanah Alor, tempat berdirinya MIS Timuabang. Lima ruang kelas ACT bangun sebagai tindakan untuk menyediakan pendidikan yang layak di tepian negeri. Sementara ejak 2017, ACT juga telah memberangkatkan murid dari Alor ke tanah Jawa untuk melanjutkan pendidikan.
Siswa-siswa Alor yang melanjutkan pendidikan di Jawa pada tahun ini merupakan angkatan ketiga. Kini, total murid yang telah di Jawa adalah 41 orang. Mereka mengenyam
pendidikan di pesantren yang ada di Bojonegoro, Jawa Timur. []