
ACTNews, JAKARTA — Rumi (70) tinggal seorang diri
di rumah yang tidak layak huni di Kampung Cigantung, Desa Sukajaya, Kecamatan
Jonggol, Kabupaten Bogor. Saat hujan deras, rumahnya banjir dan seringkali
hewan liar masuk ke dalam rumah akibat dinding banyak yang bolong.
Rumah Rumi berdindingkan bilik bambu dan berlantai tanah. Tidak ada fasilitas MCK di dalamnya. Dapur tempat Rumi memasak masih berupa tungku berbahan bakar kayu.
Ia tidak mampu untuk merenovasi rumahnya
karena kondisi ekonomi yang sulit. Saban hari, Rumi keliling kampung berjualan
keripik pisang yang ia buat sendiri. Penghasilan berjualan keripik pisang Rp60
ribu per hari.
"Setengahnya untuk modal, setengahnya
lagi saya gunakan untuk makan sehari-hari. Dicukup-cukupkan saja hasil yang
didapat ini," kata Rumi akhir April 2022 lalu.
Sementara itu, Abah Utay (65) di Garut menghabiskan masa tua bersama anaknya yang ODGJ. Untuk kebutuhan sehari-hari, Abah Utay berharap pada kebaikan tetangga dan bantuan pemerintah desa.
Delapan bulan terakhir, kesehatan Abah Utay
menurun, kakinya juga sudah tidak mampu berjalan. Tidak ada tindakan medis yang
dilakukan Abah Utay karena kondisi ekonomi dan belum memiliki akses jaminan
kesehatan.
"Untuk bisa beraktivitas, Abah Utay
menggunakan tongkat dan kadang digendong anaknya yang ODGJ," kata Jajang
Sobandi dari tim Aksi Cepat Tanggap Garut, Rabu (25/5/2022).
Kondisi pekerjaan lansia di Indonesia
Menurut UU Nomor 13 Tahun 1998 lansia (lanjut usia) adalah mereka yang telah berusia 60 tahun ke atas. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021, jumlah lansia di Indonesia mencapai 29,3 juta jiwa atau 10,82 persen dari total penduduk. Jumlah lansia di Indonesia setiap tahun diprediksi meningkat sampai 19,9 persen dari jumlah penduduk hingga tahun 2045.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional BPS
Maret 2021 menyebutkan, secara umum, sebagian besar lansia berpendidikan SD ke
bawah, yaitu sebanyak 63,27 persen. Bahkan, masih ada sekitar 13,15 persen
lansia yang tidak pernah bersekolah. Sementara itu, hanya ada sekitar 15,16
persen lansia yang memiliki pendidikan SMA/sederajat ke atas. Masih
rendahnya pendidikan lansia bukan tanpa alasan. Di zaman dahulu, pendidikan
belum menjadi prioritas serta akses pendidikan yang masih terbatas.
Mbah Inoh (78), warga Desa Gunungsari, Kecamatan Sukaratu, Kabupaten Tasikmalaya, keliling berjualan makanan ringan untuk memenuhi kebutuhannya. (ACTNews)
Tingkat pendidikan berpengaruh karena menjadi salah satu penyusun indikator kualitas hidup seseorang. Ini sesuai dengan klasifikasi yang dikeluarkan Organization of Economic Co-operation and Development (OECD) tentang kesejahteraan.
Pendidikan berpengaruh besar terhadap tingkat kesejahteraan seseorang. Karena orang yang memiliki pendidikan tinggi mempunyai peluang yang lebih besar dalam mendapatkan pekerjaan yang layak dengan gaji yang lebih tinggi.
Hal tersebut sesuai dengan data hasil
Susenas BPS Agustus 2021 lalu. Di mana, tingkat pendidikan lansia mempengaruhi
jenis pekerjaan yang digeluti.
Pekerja lansia didominasi oleh sektor
informal, pada 2021, sebanyak 86,02 persen pekerja lansia bekerja di sektor ini.
Semakin tinggi tingkat pendidikan lansia, maka semakin kecil persentase lansia
yang bekerja di sektor informal.
"Hal ini terjadi karena bekerja di
sektor informal tidak mensyaratkan kualifikasi pendidikan dan keterampilan
tertentu, sehingga cenderung cocok bagi lansia," tulis BPS dalam
laporannya.
Rata-rata Penghasilan Lansia Bekerja dalam Sebulan Menurut Tipe Daerah dan Tingkat Pendidikan. (BPS, Sakernas Agustus 2021)
Tingginya angka lansia bekerja di sektor informal, berbanding lurus dengan angka lansia yang merupakan pekerja rentan. Lansia sebagai pekerja rentan memiliki risiko tinggi terhadap kerentanan ekonomi dan berada dalam decent work deficit, yaitu tidak adanya cukup kesempatan kerja dan tidak memadainya perlindungan sosial. Partisipasi pekerja rentan dalam pasar tenaga kerja menjadikan kesejahteraannya terancam karena sulitnya akses ke pekerjaan yang layak.
"Sakernas Agustus 2021 mencatat
sebesar 75,56 persen lansia bekerja sebagai pekerja rentan. Artinya, sekitar
tiga dari empat lansia bekerja dengan risiko tinggi untuk mengalami kerentanan
ekonomi," tulis BPS.
Sementara itu, usia yang sudah tidak lagi
produktif membuat penghasilan lebih sedikit daripada usia produktif. Padahal,
kebutuhan hidup lansia tidak jauh berbeda daripada usia produktif bahkan
cenderung lebih besar untuk perawatan kesehatannya.
Pada tahun 2021, rata-rata penghasilan lansia
bekerja sebesar Rp1,34 juta per bulan. Lansia yang bekerja di lapangan usaha
sektor pertanian memiliki penghasilan paling rendah dibandingkan dengan
lainnya, yaitu sebesar Rp1,002 juta per bulan. Data Sakernas Agustus 2021 juga
memperlihatkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan lansia maka rata-rata
penghasilannya juga semakin besar.[]