
ACTNews, JAKARTA
– Semenjak Hong Kong mengumumkan temuan pertama kasus virus corona pada
pertengahan Januari 2020 lalu, masyarakat langsung bersiap. Termasuk dengan
menyediakan masker. Namun permintaan masker yang tinggi membuat masker semakin
langka di pasaran.
“Sudah mahal dan barangnya langka.
Satu kotak harganya berkisar antara 400-500 Dolar Hong Kong (HKD). Kalau
dihitung per lembar, kira-kira Rp80 ribu sampai Rp90 ribu,” kata Yana
Sulistyana, WNI yang kini berada di Happy Valley ketika diwawancarai ACTNews pada Februari silam.
Pembelian secara panik, atau panic buying, tidak hanya terjadi
di Hong Kong. Kompas mencatat, pembelian secara panik juga terjadi di berbagai
negara yang terkonfirmasi kasus corona. Di antaranya Cina, Korea Selatan, Jepang, Italia, Jerman, hingga Austria.
Termasuk salah satunya Indonesia. Semenjak Presiden Joko Widodo mengumumkan adanya kasus infeksi corona di Indonesia, kepanikan terjadi di masyarakat. Hal tersebut dibuktikan dengan melambungnya harga masker dan cairan antiseptik. Kompas mencatat, pada Selasa (3/3) lalu harga beberapa masker di toko daring bahkan naik 10 kali lipat. Cairan pencuci tangan yang tadinya puluhan ribu kini juga berada di angka ratusan ribu rupiah per botol.
Permintaan yang tinggi pada
akhirnya mempengaruhi harga pasar. Padahal menurut dokter Rizal Alimin selaku Koordinator Tim
Medis ACT, penggunaan masker sebenarnya lebih utama untuk
orang yang kondisinya sakit dibandingkan orang yang sehat.
“Baik Covid-19 atau virus lainnya. Semua
orang yang sedang demam baiknya pakai masker untuk mencegah penularan
virus. Kalau kita bersin, ada sekitar 40.000 droplets (percikan bersin) yang keluar, kalau batuk
mungkin sekitar 3.000 droplets. Jadi penting sekali kita menegakkan etika
bersin dan batuk. Prinsipnya bagaimana mencegah droplets itu keluar. Baik dengan
tisu, ataupun dengan masker, pokoknya mencegah agar dia tidak menyebar,” ujar
dokter Rizal.
Sebagaimana yang telah disarankan
oleh tenaga kesehatan lain, dokter Rizal juga mengimbau untuk sering mencuci
tangan untuk mencegah virus corona. Dosen Magister Bidang Kesehatan Masyarakat
University of Derby, Inggris, Dono Widiatmoko, dilansir dari Kompas.id, mengatakan, droplet yang menempel pada tempat-tempat umum akan mudah terpegang
oleh orang lain dan menularkan virus itu.
Virus yang berada di tangan
tersebut berpotensi masuk ke dalam tubuh jika orang yang terpapar memegang
mata, hidung, atau mulut. Dengan mencuci tangan, mata rantai penularan Covid-19
ini secara tidak langsung akan terputus.
”Virus akan mudah masuk melalui
mata karena sangat mudah ditembus. Itulah alasannya mata kita lebih gampang
merah jika terpapar kotoran,” terang Dono. Namun sebenarnya, Dono menyarankan
masyarakat untuk mencuci tangan menggunakan sabun, bukan hand sanitizer.
Dengan mencuci tangan menggunakan sabun, bakteri atau virus yang menempel pada
telapak tangan akan luruh.
”Tidak salah menggunakan hand
sanitizer. Namun dari sisi kesehatan masyarakat, cuci tangan dengan
sabun sudah cukup. Apalagi di tengah stok hand sanitizer yang
terbatas,” katanya saat ditemui di Jakarta.
Fenomena panik membeli tidak
hanya terjadi pada masker dan cairan antiseptik untuk tangan. CNN melaporkan, masyarakat bahkan
membeli makanan dalam jumlah banyak di beberapa ritel setelah virus corona
terkonfirmasi sampai di Indonesia.
Fenomena tersebut sangat
memperkeruh situasi di masyarakat saat ini. Salah satunya ketika Gunung Merapi
mengalami erupsi pada Selasa (3/3) lalu, satu hari setelah pengumuman kasus virus
corona di Indonesia. Masyarakat jadi kesulitan menghadapi abu vulkanik yang
menyebar hingga wilayah Solo Raya.
"Posisinya saat ini, masker memang sangat sulit sekali dicari. Sampai sekarang kami masih berusaha untuk mencari masker. Alhamdulillah, dari teman-teman Masyarakat Relawan Indonesia (MRI)-ACT Klaten tadi juga sudah turun juga membagikan beberapa masker yang masih ada stoknya. Selain itu, kami juga mengusahakan untuk obat tetes mata. Antisipasi jika abu vulkanik sampai masuk ke mata," jelas Ardiyan, Koordinator MRI - ACT Solo Raya. []