
ACTNews, JAKARTA – Permasalahan air bersih di Afrika tidak sekadar menjadi
permasalahan sanitasi, tapi juga secara kompleks bisa menjelma menjadi
permasalahan lain warga Afrika. Hal ini diungkapkan oleh Andi Noor Faradiba
dari Tim Global Humanity Response –
Aksi Cepat Tanggap (ACT). Informasi itu ia tangkap dari tim yang bertugas di
sana, maupun sempat beberapa kali datang ke Benua Hitam tersebut.
“Terakhir saya ke Uganda dan Somalia, saya bisa
melihat langsung bagaimana penyakit kolera menjangkit karena memang tidak adanya
akses air bersih. Itu dialami hampir sebagian besar mereka. Ada 12,5 juta
penduduk dan 50% di antaranya membutuhkan bantuan kemanusiaan. Bukan hanya
bantuan kemanusiaan pangan, bukan hanya medis, bukan hanya pendidikan, termasuk
akses terhadap air bersih,” Faradiba menceritakan pada Jumat (4/12) lalu.
Faradiba mengatakan bahwa sumber air mereka
terkadang berasal dari kubangan air hujan yang bertahan 1 sampai 2 pekan.
Mereka menampungnya dengan jeriken dengan jarak yang cukup jauh seharinya,
sekitar 3 kilometer. Tak jarang juga air itu dibagi untuk pertanian dan
peternakan, di mana penghasilan mereka berasal. Sedangkan sumur dangkal tak bisa
diandalkan.
“Banyak sumur-sumur, namanya sumur musim
hujan yang hanya mengalir saat musim hujan saja. Ini kan sangat tidak dapat
diandalkan. Ketika musim kering tidak ada airnya. Dan sumur menjadi salah satu
jawabannya. Jadi sumur itu di Afrika paling maksimal 20 meter ke bawah dan itu
bisa bertahan sampai 10 tahun ke depan,” ujar Faradiba.
Masyarakat Gubadlay, Kota Mogadishu, sedang bekerja sama membangun Sumur Wakaf pada Senin (1/6). (ACTNews)
Anak-anak pun ikut jadi korban sulitnya air
bersih, terutama anak perempuan. “Jadi anak kecil, khususnya perempuan, kalau
dia sudah berumur 5 sampai 6 tahun ke atas dia sudah punya tugas mengambil air.
Tugas ngambil air ini mulai dari anak-anak sampai ibu-ibu. Otomatis kalau
misalnya dia harus jalan
3-5 kilometer itu kan bisa 1-2 jam, apalagi kalau pulangnya bawa air. Kita bisa
bayangkan kegiatan dia yang lain itu hilang. Bermain sama temannya, baca buku,
belajar, khususnya waktu mereka untuk pergi ke sekolah,” kata Faradiba.
Berdasarkan informasi dari mitra ACT yang ada
di Afrika, seringkali anak-anak khususnya perempuan menghadapi bahaya juga
ketika di perjalanan. Mulai dari bahaya karena kondisi perjalanan, hingga
kriminalitas. “Ada penculikan, terjatuh atau seperti apa, jadi mereka sangat
rentan terhadap bahaya selama perjalanan tersebut. Mereka tidak ditemani orang
dewasa karena orang dewasanya harus fokus mencari penghasilan. Jadi mereka
sangat rentan mengalami penculikan, pelecehan, dan lain sebagainya. Jadi seperti circle,
enggak akan putus kalau kita tidak
melepas mereka sendiri,” tutur Faradiba.
Ikhtiar untuk memutus kesulitan itulah yang
hendak ditempuh ACT bersama Global Wakaf melalui Sumur Wakaf. Saat ini Sumur Wakaf
mengalami peningkatan jumlah dibandingkan dua tahun lalu. Belasan Sumur Wakaf
dibangun pada tahun ini di 5 negara Afrika dan sampai akhir tahun ini pun masih
ada yang berproses.
“Kita ingin kebermanfaatan yang kita berikan itu seluas-luasnya. Kita tidak ingin cuma beberapa negara. Kita ingin kalau perlu seluruh negara Afrika yang masih memiliki kesenjangan privilege untuk pengaksesan air bersih itu kita berada di sana, memberi jawaban, memberi bantuan, khususnya Sumur Wakaf,” harap Faradiba. []