
ACTNews, JAKARTA – Udara sejuk khas pegunungan
menjadi daya tarik wilayah Bandung Raya, tak terkecuali Lembang. Bentang alam
berupa perbukitan dengan warna hijau dari pepohonan yang tumbuh subur di sana
memikat hati pengunjungnya. Namun, di balik keindahan itu, Lembang menyimpan
potensi bencana.
Peneliti Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mudrik Rahmawan Daryono, Rabu (10/7), menyebut, potensi bencana besar tersimpan di Lembang. Gempa bumi dalam sekala cukup besar dapat terjadi dengan titik pusat di Lembang, tepatnya dari patahan atau Sesar Lembang yang membentang 29 kilometer panjangnya.
Sesar ini merupakan sesar aktif yang tiap
tahunnya bergerak dengan jarak 1,95 hingga 3,45 milimeter per tahunnya. Bentuknya
tak garis lurus, melainkan meliuk-liuk. Bentuk ini pula yang membuat bentang
alam Bandung, Lembang khususnya, terasa unik dan menjadi daya tarik wisata. “Pergerakan
sesar ini dapat membuat potensi gempa dalam skala 6,5 hingga 7,0,” ungkap Mudrik
di Kantor Aksi Cepat Tanggap (ACT) Jakarta Selatan.
Periode gempa yang bersumber dari Sesar Lembang ada
di antara waktu 170 tahun hingga 670 tahun. Namun, tak ada yang mengetahui pasti kapan gempa
dari Sesar Lembang akan terjadi. “Kami sebut ulang tahun sesar itu di angka
ratusan tahun, tapi tak ada yang tau pasti. Bisa saja 100 tahun lagi, atau 50
tahun, atau bahkan besok,” tambah Mudrik.
Bukti-bukti adanya Sesar Lembang ini dapat dilihat di sepanjang lintasan patahan di Lembang dengan kasatmata. Namun, sebagian juga ada yang tertutup oleh permukiman penduduk yang padat di Bandung Raya. Warga di sekitar sesar inilah yang perlu mewaspadai adanya potensi gempa besar. Mitigasi serta mengikuti standar konstruksi untuk wilayah rawan gempa perlu diterapkan warga. Terlebih, diperkirakan Sesar Lembang sudah masuk masa ulang tahunnya, karena gempa besar terakhir terjadi sekitar 1.400 tahun yang lalu.
Sesar di kota besar
Dua gempa besar yang terjadi tahun 2018 di
Lombok dan ibu kota Sulawesi Tengah, Palu seakan menjadi alarm masyarakat
Indonesia, khususnya yang tinggal tinggal di kota besar untuk mewaspadai
bencana. Hiruk-pikuk kota serta kemajuan dalam berbagai hal di kota sering kali
mengaburkan ingatan adanya acaman bencana besar.
Hal tersebut juga berlaku di Pulau Jawa, yang menjadi tempat
sebagian besar penduduk Indonesia bermukim. Mudrik Rahmawan Daryono di Kantor
ACT juga menyebut jika ancaman gempa besar dapat terjadi di kota-kota besar di
Jawa yang bersumber dari sesar-sesar yang tertanam di bawah tanahnya.
Sebut saja Sesar Kendeng, Semarang, hingga Baribis yang masih diyakini melintang di ibu kota Jakarta. Mudrik belum dapat menjelaskan lebih lanjut untuk kemungkinan sesar yang menjadi ancaman di Jawa. Pasalnya, dana serta perangkat untuk kebutuhan penelitian terbatas. Terlebih masih banyak masyarakat yang tak acuh dengan adanya ancaman dari sesar ini. “Bukan gempa yang membunuh manusia, tapi infrastruktur yang hancur yang membawa kematian,” ungkapnya Rabu itu.
Kini, Mudrik berharap, masyarakat dapat sadar
potensi benana yang ada di lingkungan tempat tinggalnya. Perlu adanya upaya
untuk terus merawat kewaspadaan masyarakat akan bencana gempa. Hal itu
dilakukan karena ingatan manusia terbatas waktu, sedangkan gempa dapat terjadi
berkali-kali dalam kurun waktu yang tak tentu batasnya.
Di lain kesempatan, Penasihat Senior The Pujiono
Centre Puji Pujiono, Kamis (4/7) di kantor Aksi Cepat Tanggap (ACT),
mengatakan, sudah sepatutnya masyarakat perkotaan waspada pada ancaman bencana.
Mereka perlu memahami risiko di lingkungan tempat mereka menetap.
“Pengetahuan, praktik keamaan, serta
penyelamatan diri perlu dibekali ke semua penduduk, termasuk yang tinggal di
perkotaan. Bencana alam tak mengenal waktu kapan akan datang. Malah terkadang
masyarakat lupa. Padahal tahu kalau mereka menepatkan diri mereka di jalur
bencana,” jelasnya.
Berdasarkan Megatrend, penduduk Indonesia, pada tahun 2035 sebagian besar akan tinggal di perkotaan. Angkanya mencapai 85 persen. Mereka akan mendapatkan fasilitas hidup yang lebih lengkap dibandingkan pedesaan. Namun, kewaspadaan akan risiko bencana masih sering terabaikan.[]