
ACTNews, GAZA – 11 Mei
2022 menandai satu tahun sejak serangan militer pertama Israel ke Gaza ketika
ekskalasi di Yerusalem Timur dan Masjid Al Aqsa memanas. Dalam agresi besar
tersebut, Global Humanity Network dari Aksi Cepat Tanggap (ACT) mencatat ada
256 warga Palestina di Gaza yang meninggal dunia.
Selain itu, serangan tersebut juga menyebabkan sedikitnya
1.710 warga Gaza mengalami luka-luka, yang mayoritasnya disebabkan oleh serangan
pesawat tempur Israel ke bangunan-bangunan di Gaza. Serangan yang berlangsung
selama 11 hari ini dinilai sebagai salah satu yang terparah di Gaza karena
menargetkan warga sipil dan tempat tinggalnya. Tercatat 16.800 unit rumah warga
rusak, dengan 1.800 di antaranya tidak layak untuk ditinggali kembali.
Dikutip dari laman Middle East Eye, salah satu penyintas
menceritakan bagaimana kisahnya saat ia harus menyaksikan seluruh anggota
keluarganya meninggal dalam bombardir serangan udara. Ia adalah Omar Abu
al-Ouf, satu-satunya yang selamat dari keluarganya. Omar menceritakan, rumah
keluarganya yang berada di jalan al-Wehda di pusat Kota Gaza menjadi sasaran
serangan udara pada 16 Mei.
“Saya sedang duduk bersama orang tua, saudara kandung, dan
kakek-nenek saya ketika serangan udara meningkat pada tengah malam,” kata
remaja berusia 17 tahun itu. Kami berlari ke koridor berpikir itu adalah tempat
teraman di rumah, ayah saya berlari tepat di belakang kami, tetapi pengeboman
sangat cepat dan serangan udara menghantam rumah kami," kata remaja berusia
17 tahun itu.
“Dalam sekejap mata, saya menemukan diri saya berbaring tengkurap dengan pilar beton sekitar lima sentimeter di atas punggung saya. Saya tidak bisa bergerak atau melihat apa pun, tetapi saya mencoba bernapas melalui lubang kecil yang saya temukan di tanah. Rasanya seperti kuburan,” sambungnya.
Remaja itu menghabiskan 12 jam di bawah reruntuhan.
Terperangkap di bawah tembok rumahnya, Omar terpaksa harus mendengarkan
rintihan keluarganya yang sekarat.
“Yang pertama meninggal adalah saudara perempuan saya yang
berusia 12 tahun, Tala. Saya dapat mengatakan bahwa dia meninggal setelah 10
hingga 15 menit karena dia sangat kecil dan kurus. Dia berbaring di bawah
lengan saya; saya tidak bisa melihatnya tetapi saya tahu dia ketakutan karena saya
mendengarnya bernapas sangat cepat sebelum dia berhenti bergerak,"
kenangnya.
“Beberapa saat sebelum dia meninggal, saya mencoba
menghiburnya. Saya tahu dia tidak akan selamat, jadi saya memintanya untuk
mengucapkan Syahadat. Dia melakukannya dan aku tidak bisa lagi mendengarnya
bernapas. Saya tahu saat itu bahwa dia telah meninggal." cerita Omar.
Tala adalah satu dari 66 anak berusia antara 5 hingga
15 di Gaza meninggal dalam agresi Israel
tersebut. “Setelah Tala meninggal, saya dapat mendengar ibu saya merintih
kesakita, saya tidak mengerti apa yang dia katakan, tetapi saya pikir dia juga
mengucapkan Syahadat,” lanjut Omar.
Tidak berhenti sampai di sana, Omar juga menceritakan bahwa
ia juga kehilangan saudara laki-lakinya, Tawfiq. Omar menyebut, Tawfiq adalah
satu-satunya saudara yang tetap hidup selama 12 jam di bawah reruntuhan
bersamanya.
"Tawfiq memanggil nama saya setiap lima menit dan
bertanya: ‘Omar apakah kamu masih hidup?’ Di saat-saat terakhirnya, dia meminta
saya untuk memaafkannya dan mengucapkan Syahadat. Dia tahu dia tidak akan
selamat."
Omar mengatakan, karena serangan udara yang intensif dan
kurangnya peralatan, pertahanan sipil Palestina membutuhkan waktu berjam-jam
untuk mencari tahu di mana dia berada, dan menariknya dari puing-puing
reruntuhan.
"Saya mencoba berteriak untuk membantu mereka menemukan
saya. Ketika mereka akhirnya berhasil menarik saya keluar, saya dibawa ke unit
perawatan intensif, di mana para dokter mengambil sampel urin dari saya yang
benar-benar hitam karena banyaknya debu dan pasir yang saya hirup dan
telan," pungkas Omar.
Apa yang menimpa Omar, juga menimpa hampir seluruh
tetangganya di wilayahnya. Kejadian tahun lalu tersebut, masih membuat Omar
trauma dan mengisi tiap mimpi buruknya. []