
ACTNews, KEBUMEN
– Pengobatan alternatif menjadi pilihan Linggo ketika penyakit saraf membuat kakinya tidak dapat berjalan dengan dengan normal. Klinik Pijat Hasta Husada menjadi pilihannya. Wawan, yang mana seorang terapis bagi Linggo, juga seorang disabilitas. Ketika Linggo dan Tim ACTNews berkunjung ke kliniknya, Wawan bercerita banyak hal.
Termasuk bagaimana pandangan masyarakat terhadap para penyandang disabilitas.
“Masalahnya masyarakat masih punya
stigma, bahwa penyandang disabilitas itu tidak dapat berdaya. Itulah yang mau
kami ubah. Bahwa kami, penyandang disabilitas, juga bisa punya peran di
masyarakat,” ujar Wawan pada Desember 2019 silam.
Wawan memang tunanetra, namun ia tidak
serta merta ia menyerah pada keadaan. Kini di rumahnya di Desa Karangsari, Kecamatan
Buayan, Kabupaten Kebumen, ia membuka praktik pijat yang telah berjalan sekitar
11 tahun.
“Beberapa penyakit yang bisa diterapi
dengan massage, seperti penyakit Mas Linggo, paraparesis, kemudian
strok, terus lagi diabetes, darah tinggi, asam lambung. Serta sakit-sakit yang
sifatnya fisik bagian luar seperti terkilir,” jelas Wawan. Sudah berjalan 11
tahun, Wawan mengaku ribuan pasien sudah datang ke kliniknya.
Harapan para penyandang juga dibuktikan Linggo. Sudah dua bulan ia berjalan menggunakan tongkat karena penyakitnya. Karena penyakit saraf, kakinya tidak bisa berjalan sebagaimana sebelumnya. Tetapi aktivitasnya tetap. Ia bekerja sebagai desainer grafis di sebuah percetakan serta menjadi relawan dari Masyarakat Relawan Indonesia (MRI) – Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Linggo bercerita mengenai penyakitnya di depan rumahnya. (ACTNews/Reza Mardhani)
Berbagai aktivitas kemanusiaan
masih dijalankan Linggo. Misalnya, ia bantu pembangunan beberapa Sumur Wakaf di Kebumen. Juga membantu implementasi bantuan pengobatan bagi para warga
prasejahtera melalui program Mobile Social Rescue (MSR) Global Zakat –
ACT. Sebelum sakit, Linggo juga kerap terlibat dengan tanggap darurat bencana.
“Salah satunya ketika longsor di Desa Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, pada 2018 lalu. Saya ikut selama dua minggu di sana, mengevakuasi para korban dan melayani membantu pengungsi juga bersama Tim SAR,” ujar Linggo.
Untuk terapi Linggo sendiri, Wawan
memperkirakan 10 terapi bisa membantu meringankan penyakitnya. Selain terapi,
Linggo juga membutuhkan bantuan medis yang baru bisa dilakukan pada awal tahun
2020 ini.
Melihat sepak terjang Linggo di
dunia kerelawanan, MRI-ACT berencana untuk membantu pengobatan Linggo hingga
tuntas. Apiko Joko Mulyono dari Tim Global Zakat-ACT mengatakan, bantuan ini
merupakan sebuah apresiasi untuk kerja keras Linggo melalui program MSR dari
Global Zakat-ACT.
“Karena Linggo ini sosok relawan
tangguh, boleh kita katakan demikian. Di tengah kesulitannya sendiri bahkan ia
masih sempat memikirkan orang lain. Jadi insyaallah, ke depannya setelah
kunjungan tim pada hari ini, kita akan mengusahakan bantuan pengobatan untuk
Linggo,” tutur Apiko.
Linggo merasa senang dengan rencana bantuan itu. Harapannya saat ini hanyalah untuk sembuh dan bisa beraktivitas kembali seperti sediakala, dan kembali meluangkan waktunya bersama MRI. “Harapannya pastinya saya ingin sembuh secepatnya, agar bisa beraktivitas seperti biasa lagi bersama teman-teman di MRI-ACT, khususnya di Kebumen. Dan tentunya, saya juga ingin menjalani aktivitas sehari-hari seperti sediakala,” harap Linggo. []