
ACTNews, LANGSA – Di bulan Agustus
ini, Aksi Cepat Tanggap (ACT) berkesempatan mengunjungi warga di Gampong Pondok
Kelapa, Langsa Baro, Langsa. Dalam perjalanan, hujan menemani tim hingga tiba
di lokasi tujuan. Tak seperti warga umumnya yang berteduh atau beristirahat
saat hujan, di Pondok Kelapa, hujan menjadi keberkahan yang luar biasa
dinantikan. Jeriken dengan berbagai ukuran disiapkan warga untuk diisi air,
wajah yang diselimuti kebahagiaan, ibu-ibu yang bersiap mencuci pakaian, serta
anak-anak bermain air hujan menjadi pemandangan di sana.
Ternyata
semua itu bukan tanpa alasan. Warga Gampong Pondok Kelapa begitu bahagia saat
hujan karena krisis air melanda wilayah mereka. Selama ini, warga mengumpulkan
air hujan di kolam tadah hujan buatan yang ukurannya sekitar 70 meter persegi dengan kedalaman sekitar 10-70 sentimeter
saja.
“Di sini hujan adalah emas, tidak ada hujan
bararti separuh kehidupan telah hilang,” ujar salah seorang ibu yang tim ACT
temui tengah menenteng jeriken berisikan air hujan.
Di Pondok Kelapa, khususnya Dusun Alue Rimau,
selain memanfaatkan kolam tadah hujan, warganya juga membeli air minimal Rp300
ribu setiap bulan saat musim hujan. Tetapi, saat masuk kemarau, mereka perlu
merogoh kocek lebih dalam, bahkan sampai Rp500 ribu per bulannya hanya untuk
air. Angka tersebut jelas memberatkan warga, mengingat mayoritas bekerja
sebagai buruh tani dengan penghasilan rata-rata Rp800 sampai 1 juta per bulan.
Dengan penghasilan tersebut, warga Pondak Kelapa harus memenuhi kebutuhan
hidup, mulai dari air, pendidikan anak, hingga kesehatan jika sewaktu-waktu
diperlukan.
“Kami ini cuma buruh tani karet, sebenarnya
sangat dilema. Saat musim hujan tiba, susah sekali mengumpulkan getah karet,
tetapi bersyukur karena tidak harus beli air terlalu banyak. Tapi begitu musim
kemarau, getahnya bisa diambil banyak, ya tapi uang banyak habis untuk beli air
bersih” ujar Jamil, salah satu warga Pondok Kelapa.
Dampak dari
minimnya air ini tak hanya pada urusan rumah tangga saja. Tak jauh dari
permukiman, berdiri musala yang hanya digunakan warga saat Ramadan saja,
sehingga tak ada kumandang azan lima waktu terdengar. Tidak adanya sumber air
untuk kebutuhan ibadah menjadi salah satu alasan jarang ada aktivitas hingga
musala terbengkalai.
“Air yang
dikonsumsi warga dari tadah hujan pun tak seluruhnya bersih. Kondisi ini
mengkhawatirkan bisa menimbulkan penyakit untuk jangka panjangnya,” ungkap
Kepala Cabang ACT Langsa Ryandra Saputra.[]