ACTNews, TASIKMALAYA – Sawah hijau menghampar luas, dilengkapi semilir udara sejuk khas pegunungan. Nuansa ini dapat Anda nikmati tatkala berkunjung ke Kampung Pasir Angin di Desa Banyurasa, Kecamatan Sukahening, Kabupaten Tasikmalaya. Namun, siapa sangka jika wilayah hijau tersebut kerap dilanda krisis air bersih. Hanya ada satu mata air yang menjadi sumber kehidupan warga Pasir Angin, itu pun jaraknya cukup jauh, berbeda kampung.
Menggunakan
pipa yang panjang, warga mengalirkan air tersebut ke rumah-rumah yang ada di
Pasir Angin. Selama tak ada masalah di pipa, air dapat mengaliri rumah warga.
Akan tetapi, permasalahan pipa tersendat, pecah atau bocor sering terjadi. Jika
begini, warga Pasir Angin harus merunut pipa yang panjangnya sampai ratusan
meter untuk menemukan dan memperbaiki masalahnya.
“Beberapa minggu yang
lalu warga ngerunut soalnya airnya
enggak ngalir,” ungkap Yoyo, salah
satu warga yang juga tokoh masyarakat, Senin (3/8).
Di bulan Agustus ini,
dalam urusan pemenuhan air, warga Pasir Angin juga harus menghadapi ancaman
kemarau. Di rumah Yoyo misalnya, keran di kamar mandinya mengeluarkan air
dengan debit yang sangat kecil. Hal ini terpengaruh dari mata air yang menjadi
satu-satunya sumber air warga Pasir Angin yang juga mulai berkurang karena
musim. Belum lagi air tersebut harus dibagi dengan ratusan keluarga lain yang
tinggal di sana, totalnya sekitar 400 keluarga atau sekitar 800 jiwa.
Memang, kemarau
menjadi ancaman yang nyata dan nyaris setiap tahun harus dihadapi warga Pasir
Angin. Seperti tahun 2019 lalu ketika Indonesia dilanda kemarau parah, kampung yang
ada di puncak bukit itu pun tak luput merasakan dampaknya. Jika hal itu
terulang, tambah Yoyo, warga mengakalinya dengan mencari air hingga keluar desa
atau memanfaatkan air untuk pertanian yang keruh dan merelakan tanaman mereka
tak mendapat air.
Krisis air yang
sering dihadapi warga Pasir Angin bukan tanpa sebab. Selain karena mereka
tinggal di ketinggian, warga di sana juga belum ada yang memiliki sumur bor.
Kondisi ekonomi memaksa mereka hidup dalam keadaan demikian. “Buat bikin sumur
bor kan mahal,” ungkap Dede, salah satu warga Pasir Angin.
Sebagian besar
profesi warga Pasir Angin merupakan petani, pedagang kecil serta pengangguran.
Sebelum pandemi Covid-19 melanda, warga di sana secara ekonomi memang sudah
sulit, dan kini ekonomi warga semakin terhimpit karena keadaan. Sektor
pedagangan sepi, sementara tengkulak serta hama pertanian terus menjerat. Di sisi lain, kesempatan kerja yang kecil membuat banyak anak muda harus menganggur
di usia produktif.
“Selain sumber air biar 800 jiwa warga enggak kesusahan lagi, kami di sini juga perlu bantuan untuk menyelesaikan permasalahan pengangguran sama pertanian yang kurang maksimal,” tambah Dede.[]