ACTNews, JAKARTA –
Jalan yang ramai dilewati oleh pengendara di daerah Warakas, Tanjung Priok,
Jakarta Utara jadi tempat Ahmad Yani, atau akrab disapa Jamil, untuk menjajakan
dagangannya. Sebelum pandemi, minuman ringan yang Jamil jual.
Sambil duduk di kursi roda yang remnya sudah tidak berfungsi lagi, Jamil
menjual dagangannya untuk mendapatkan pundi rupiah.
Dalam
sehari, uang Rp50 ribu bisa Jamil bawa pulang untuk kemudian ia tabung. Namun, jumlah
tersebut didapatkan sebelum pandemi. Terhitung sejak Maret, pendapatan pria 23 tahun yang mengalami disabilitas pada kakinya itu turun drastis. Sekarang uang
Rp20 ribu - Rp30 ribu hasil jualan terbilang besar bagi Jamil karena tak jarang
dagangannya tidak laku sama sekali. Terlebih ketika pembatasan sosial berskala
besar diterapkan secara ketat beberapa bulan lalu.
“Uangnya
ditabung,” singkat Jamil ketika ditanya untuk apa uang yang ia dapatkan dari
hasil berjualan, Rabu (13/1/2021).
Jamil
sendiri merupakan seorang penyandang disabilitas yang tinggal di daerah Warakas, Jakarta
Utara bersama orang tuanya. Sejak umur 1 tahun 3 bulan, ia dinyatakan mengalami
polio yang menyebabkan kakinya tidak bisa digunakan untuk berjalan. Hingga
dewasa, Jamil harus mengarungi kehidupan dengan kursi roda yang menjadi
tumpuannya, termasuk berjualan. Terhitung sejak tahun 2019, ia mencoba mencari
peruntungan dengan berjualan minuman ringan.
Sayang,
tahun 2020 Covid-19 mewabah di Nusantara yang membuat usaha Jamil ikut
terdampak. Selama pandemi, pendapatan dari dagangannya berkurang drastis,
bahkan sempat tak berjualan karena adanya pembatasan sosial. Sehingga, modal
dagang Jamil pun kian hari kian berkurang seiring digunakan untuk memenuhi
kebutuhan harian.
“Modal
awal juga dikasih sama orang Bekasi. Tapi selama corona kan pendapatannya
kurang, jadinya modal buat makan harian. Sekarang sudah ramai lagi
(berkurangnya pembatasan), tapi modalnya abis. Sekarang jualan tisu saja deh yang
modalnya murah,” jelas Dedi, ayah Jamil.
Ingin punya warung sendiri
Keterbatasan
yang Jamil miliki tidak menjadi halangan baginya untuk memiliki mimpi. Selama
ini, pundi-pundi rupiah yang didapatkan dari dagangan kecilnya ditabung untuk
membeli ponsel pintar. Hingga kini barang yang diinginkan anak ketiga dari
empat bersaudara ini memang belum
terbeli. Orang tuanya pun tak sanggup membelikan karena kondisi ekonominya juga
masih prasejahtera. Namun, hal ini malah menjadi semangat Jamil untuk terus
berjuang mencari uang dengan caranya sendiri.
Selain
ingin mempunyai ponsel pintar, Jamil juga ingin memiliki warung sederhana agar
ia tak perlu lagi berkeliling ke jalan-jalan raya sendirian dengan kursi
rodanya. “Mau punya warung, kecil gapapa,
biar enggak usah jauh-jauh jualannya,” harap Jamil.
Dedi,
ayah Jamil, mendukung cita-cita anaknya
yang hanya pernah mengenyam pendidikan sampai bangku kelas 2 SD karena perundungan
ini. Bagi Dedi, jika suatu saat nanti ada warung kecil sendiri, Jamil tak perlu
mengayuh kursi rodanya jauh-jauh dari rumah. Apalagi, kondisi jalanan belum
tentu bersahabat bagi disabilitas seperti Jamil. Pasalnya, tak jarang uang
hasil jualan Jamil dipalak orang sekelompok orang yang membuatnya terpaksa
memberikan tanpa bisa melawan sedikit pun. Selain itu, kecelakaan juga menjadi
mengancam Jamil karena ia berjualan di area ramai kendaraan berlalu lalang.
“Apapun
keinginan anak saya, selama itu baik, pasti saya dukung. Tapi mungkin untuk
sekarang saya enggak bisa ngasih apa-apa,
karena kondisi ekonomi saya pun begini adanya,” ungkap Dedi.[]