
ACTNews, JAKARTA – Secara global, 785 juta orang
tidak
memiliki air bersih yang dekat dengan rumahnya. Bahkan banyak di
antara mereka harus berjalan selama setengah jam untuk menemukan air yang
layak minum. Dan ketika krisis iklim mulai terjadi, kondisi ini semakin parah. Laporan
dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2017 itu juga mengatakan bahwa 2 miliar
orang masih kekurangan sanitasi dasar. Sebanyak 7 dari 10 tinggal di
pedesaan dan sepertiganya tinggal di negara-negara kurang berkembang.
Wilayah itu di
antaranya adalah Afrika. Di Afrika,
tak sampai satu dari tiga orang memiliki akses sistem drainase yang baik,
dengan hanya 63% warga memiliki akses air bersih. Penelitian dari Afrobarometer
pada tahun 2014 – 2015 itu juga mengungkap hanya 30% warga yang memiliki akses
pembuangan kotoran.
“Afrika sendiri sebenarnya bisa
dibilang tanah yang subur. Hanya memang akses terhadap pelayanan air bersih,
sanitasi, dan MCK itu sangat-sangat kurang. Terakhir saya ke Uganda dan
Somalia, saya bisa melihat langsung bagaimana kayak penyakit kolera karena memang
tidak adanya akses air bersih,” ujar Andi Noor Faradiba dari Tim Global Humanity Response (GHR) – Aksi Cepat
Tanggap (ACT), Jumat (4/12).
Sebagai contoh,
Somalia. Tanpa akses ke air bersih, toilet dan sanitasi yang baik, risiko
tertular penyakit, seperti diare, diare berair akut, kolera, dan infeksi
pernapasan menjadi cukup tinggi. Dalam
tiga tahun terakhir, lebih dari 900 orang di Somalia, telah meninggal
karena kolera dan mayoritas dari mereka adalah anak di bawah usia 5 tahun.
Ketika perempuan melahirkan dalam kondisi yang seperti ini, kehidupan para ibu
dan bayi juga dipertaruhkan.
Seorang perempuan mengumpulkan air untuk digunakan di rumah mereka di kamp IDP Bakassi, di Maiduguri, ibukota negara bagian Borno di Nigeria timur laut. (UNICEF/Abubakar)
“Dan ini rentan banget, karena memang sumber
air mereka hanya genangan air bekas hujan yang bisa bertahan 1-2 minggu. Dan
itu kan air yang tidak mengalir. Kondisi ini terjadi juga di Ghana, Mali, Uganda,” kata Faradiba.
Air permukaan
ini memang seringkali tercemar. Air yang tercemar dan
sanitasi yang buruk terkait dengan penularan penyakit seperti kolera, diare,
disentri, hepatitis A, tifus, dan polio. Layanan air dan sanitasi yang tidak
ada, tidak memadai, atau dikelola secara tidak tepat membuat individu rentan
terhadap risiko kesehatan yang dapat dicegah. Hal ini terutama terjadi di
fasilitas perawatan kesehatan di mana pasien dan staf ditempatkan pada risiko
tambahan infeksi dan penyakit ketika air, sanitasi, dan layanan kebersihan
kurang.
Ikhtiar untuk
memutus kesulitan itulah yang hendak ditempuh ACT bersama Global Wakaf melalui
Sumur Wakaf. Saat ini Sumur Wakaf mengalami peningkatan jumlah dibandingkan dua
tahun lalu. Belasan Sumur Wakaf dibangun pada tahun ini di 5 negara Afrika dan
sampai akhir tahun ini pun masih ada yang berproses.
“Kita ingin kebermanfaatan yang kita berikan itu seluas-luasnya. Kita tidak ingin cuma beberapa negara. Kita ingin kalau perlu seluruh negara Afrika yang masih memiliki kesenjangan privilege untuk pengaksesan air bersih itu kita berada di sana, memberi jawaban, memberi bantuan, khususnya Sumur Wakaf,” harap Faradiba. []