ACTNews, MOJOKERTO – Para santri Pondok Pesantren
Riyadlul Jannah sudah
mengganti sarung, baju gamis, dan pecinya selepas subuh. Dengan kaos dan celana
panjang, mereka memulai apel pagi itu yang dipimpin oleh pengasuh pondok KH. Mahfudz Syaubari, setelahnya masing-masing menggendong
penyemprot pestisida yang telah tersedia di salah satu sudut pondok dan
berangsur ke sawah.
Sementara yang
lain berada di lahan yang sudah ditanami di Mojokerto, sebagian lagi sibuk di
lahan pembibitan di Desa Rejeni, Kecamatan Krembung, Sidoarjo, Jawa Timur. Para
santri ini adalah Santri Taruna Tani (Santani), sebuah program dari Gerakan Masyarakat Pesantren untuk Ketahanan Pangan Indonesia
(Gema Petani) – Yayasan Penguatan Peran Pesantren Indonesia (YP3I).
Santani
terbentuk karena tujuan dari Gema Petani sendiri yang ingin memberdayakan
masyarakat melalui pertanian dengan cara meningkatkan produktivitas
pertaniannya. Untuk itu mereka bekerja sama juga dengan para tenaga ahli di
bidangnya yang memiliki cara-cara tertentu untuk menunjang produktivitas tani.
“Santri di sini
bukan berarti kecil sekali artinya dalam artian santri yang masih terikat
dengan peraturan pondok, santri yang terikat kurikulum. Tapi semua orang yang
terlibat entah itu jemaah, simpatisan, atau mungkin lulusan. Bahkan seperti
saya kan sudah tidak belajar lagi di pondok karena sudah selesai. Tapi tetap
statusnya sebagai santri. Selamanya santri,” ujar Abdul Azis (28) Ketua Santani
sekaligus alumni di Pondok Pesantren Riyadlul Jannah pada Sabtu (30/1/2021) kemarin.
Para santri bersama Azis berfoto bersama di depan lahan pembibitan. (ACTNews/Reza Mardhani)
Jauh sebelum program Santani hadir, Azis telah
belajar bertani di Pondok Pesantren Riyadlul Jannah
sejak tahun 2005. Kala itu ia yang masih berumur sekitar 10 tahun belum membawa
ilmu bertani sama sekali ketika berangkat dari kampung halamannya di Pontianak,
Kalimantan Barat.
“Bagi saya ini
anugerah dalam artian oke, tujuannya saya dari awal untuk belajar. Tapi belajar
itu luas, dan ilmu itupun banyak. Mungkin yang ada di kelas itu hanya 10% dari
ilmu yang tidak tertulis yang ada di alam. Bersyukur dan saya selalu bilang ke
santri, justru ini pelajaran paling besar dalam hidup kita. Toh, kalau belajar
di kelas 1-2 jam cukup, waktu 1 hari itu 24 jam, dikurangi 4 jam saja masih
sisa sekian banyak,” ujar Azis.
Selain menjaga produktivitas, para Santani juga
wajib memberikan edukasi kepada masyarakat sekitar mengenai inovasi-inovasi pertanian
yang mereka lakukan. Azis memperkirakan lahan-lahan yang digarap Santani kini
sudah tersebar sekira seluas 80 hingga 90 hektare di Jawa Timur, dengan ratusan
anggota yang terlibat.
Global Wakaf - ACT sendiri kini bekerja sama
dengan Gema Petani - YP3I untuk penguatan peran pertanian melalui program Wakaf
Pangan Produktif. Santani menjadi salah satu program yang didukung dalam hal
ini dan menurut Azis, ini merupakan langkah yang positif. Terutama karena para
petani terjerat oleh pemodal-pemodal besar yang di saat bersamaan menjebak petani.
“Dengan adanya program dari Gema Petani – YP3I dan Global Wakaf – ACT ini bisa memutus mata rantai monopoli, khususnya dalam pertanian. Contohnya ada sebuah kerja sama, hanya dikasih bibit saja bisa mengunci petani untuk menjual hasil produksinya ke pasar lain. Harusnya di tempat lain dapat Rp700 per kilogram, hanya dikasih bibit saja terkunci dibeli oleh pemberi bibit dengan harga Rp500. Jarak Rp200 dikalikan sekian banyak sudah dapat berapa? Jadi dengan adanya program ini produktivitas ditingkatkan, bagi hasil juga adil, sangat-sangat membantu sekali,” pungkas Azis. []