ACTNews, SRAGEN – Sejak siang hingga sore
Wiyoto mendampingi Aksi Cepat Tanggap (ACT) melakukan asesmen kekeringan hingga
pendistribusian air bersih di Desa Banyuurip, Kecamatan Jenar, Sragen. Udara
sangat panas, hujan yang sudah lama tak turun membuat kekeringan melanda desa
di perbatasan Jawa Tengah dan Timur itu. Tak ada sumber air yang dapat dimanfaatkan
sebagai pereda hawa panas.
Kamis (22/8), Masyarakat Relawan Indonesia
Sragen bersama Wiyoto mendistribusikan air bersih bagi warga terdampak
kekeringan. Air yang dibawa dari Sragen kota baru tiba pada Kamis sore. Sejak
siang, deretan jeriken telah memenuhi sebagian jalan desa. Jeriken itu ialah
milik warga yang berharap akan ada yang mengirimkan bantuan air.
“Ya begini, walau belum tentu ada yang mau
mendistribusikan air, warga desa sudah manaruh jerikennya di pinggir
jalan. Mereka juga enggak mampu beli air, kondisi ekonominya lemah,” sebut
Wiyoto.
Wiyoto sendiri merupakan salah satu warga desa yang juga mengalami dampak kekeringan. Bahkan, di hari itu, ia tak sempat mandi karena tak ada air untuk membersihkan diri. Laki-laki yang bekerja di Jakarta ini memprioritaskan air untuk konsumsi keluarganya.
Seorang anak
melintas di jembatan yang melintang di sungai di Desa Banyuurip yang mengering.
Kekeringan di desa perbatasan Jateng-Jatim itu telah terjadi sejak April lalu.
Sumber air di desanya berasal dari sumur. Rata-rata
kedalaman sumur di Banyuurip di kedalaman 80-100 meter ke bawah tanah. Di
kedalaman itu, warga mendapatkan sumber air, walau payau hingga asin. Sedangkan
jika kedalaman sumur di bawah 80 meteran, sumur tidak akan mengeluarkan air. Pasokan air dari perusahaan air minum tak menyeluruh di Desa Banyuurip.
Sungai di Desa Banyuurip pun sudah mengering
sejak beberapa bulan lalu. Belik yang menghiasi aliran sungai juga tak lagi
mengeluarkan air. Hal itu membuat warga hanya mengandalkan bantuan air dari
berbagai pihak untuk memenuhi kebutuhan air.
Hari itu, Wiyoto baru membersihkan diri pada malam hari. Ia mengatakan, semua warga desanya pada umumnya hanya mandi sekali dalam sehari. Itu pun mereka menggunakan air yang sangat sedikit, paling banyak setengah ember cat ukuran 25 kg.
Wiyoto menunjukan
cara warga desa pada umumnya yang harus berbagi air dengan tanaman atau hewan
ternaknya. Kekeringan yang melanda memaksa warga harus menghemat air untuk
berbagai keperluan.
“Warga sini kalau mandi biasanya di bawah pohon,
ini cara buat berbagi air sama tanaman. Atau biasa juga warga menampung air
mandi tanpa sabun, ini nanti buat minum hewan ternak, tapi kalau air yang
tercampur sabun biasa hewan menolak minum,” ungkap Wiyoto.
Memang tak ada pilihan lain bagi warga selain
menghemat penggunaan air. Musim kemarau yang lebih panjang dari tahun
sebelumnya memaksa mereka mengubah gaya hidup. Kondisi ekonomi yang masih
rendah juga memaksa warga bertahan hidup hanya dengan bantuan air bersih.[]