
ACTNews, MALANG – Wakaf bernilai abadi. Oleh karenanya, publik Indonesia umumnya beranggapan bahwa wakaf mesti berupa aset atau benda yang kegunaannya
dapat bertahan lama. Hal tersebut tidaklah salah, namun demikian banyak
masyarakat yang kemudian tidak familiar dengan wakaf uang karena dianggap tidak bersifat abadi.
Menurut Dr. Ahmad
Jalaludin LC. MA., Pendakwah sekaligus dosen S2 ekonomi syariah di Universitas
Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, yang harus dipahami dari kata "abadi" adalah nilai dari
uang tersebut, bukan uang itu sendiri. Pemahaman ini kemudian yang menurutnya
menjadi ganjalan bagi wakaf ini untuk lebih dikenal masyarakat.
“Artinya kalau saya wakaf uang Rp1 juta, bukan
dimaknai uang dengan nomor seri inilah yang harus abadi. Tetapi secara nilai.
Saya kira ini problem budaya dan minimnya sosialisasi yang terkait dengan
pemahaman objek wakaf secara luas. Edukasinya harus masif di tengah-tengah
masyarakat, bahwa wakaf tidak hanya benda, tetapi bisa juga wakaf uang. Dan
wakaf uang ini tidak hanya uang yang berujung pada benda, tetapi uang untuk
kepentingan-kepentingan produktif,” jabarnya.
Lebih jauh lagi, Ustaz Jalaludin membagi wakaf uang menjadi dua jenis. Ada wakaf uang untuk pengembangan aset, ada wakaf uang untuk pengembangan investasi. “Tetapi ini masih baru. Meskipun demikian gerakannya cukup masif di Indonesia,” katanya.
Wakaf uang inilah yang pada praktiknya akan membangun korporasi masyarakat. Sebuah sistem ekonomi di mana bukan hanya berfokus pada keuntungan individu, tapi mengutamakan kepentingan bersama.
Gubuk di tengah sawah, tempat para petani Desa Ciptamarga beristirahat. Di desa ini, beberapa petani menjalankan lahannya dengan bantuan Wakaf Modal Usaha Mikro. (ACTNews/Reza Mardhani)
“Korporasi
muslim harus berbeda dengan korporasi kapitalis. Kalau kapitalis, korporasinya
elitis, yang terjadi itu tarkitsu
atsarwa (penguasaan kekayaan) dari hulu sampai hilir dikuasai oleh
individu. Tetapi kalau dalam Islam karena konsep orang bekerja adalah bagaimana
memelihara kekayaan umat, maka kekuatan yang dibangun adalah kekuatan korporasi
yang bukan elitis, tetapi populis,” demikian Ustaz Jalaludin menjabarkan konsep
distribusi kekayaan dalam Islam pada helatan Waqf Business Forum pada Ahad (22/11) lalu.
Kebermanfaatan
inilah yang sedang diikhtiarkan oleh Global Wakaf – ACT. Dengan dana wakaf
masyarakat misalnya, Global Wakaf – ACT membantu para pengusaha kecil yang
terdampak pandemi lewat program Wakaf Modal Usaha Mikro. Bantuan tersebutlah yang
kemudian menopang para pengusaha mikro dapat kembali menjalankan usahanya.
“Ternyata dalam
perjalanan 3 bulan ini, sudah hampir 10.000 orang kita berikan modal dari wakaf
tunai yang mengalir ke Global Wakaf – ACT. Pada saat bank tidak memberikan
pembiayaan, pada saat rentenir siap menyergap umat ini. Jadi kita tidak ingin
wakaf hanya menjadi narasi yang hebat dikatakan,” jelas Ahyudin selaku Ketua
Dewan Pembina ACT.
Potensi perkembangan tersebut dapat dari umat Islam yang banyak yang menguasai UMKM saat ini. Di antara banyak bangkitnya umat di bidang ekonomi, ada juga yang sudah berjihad melalui hartanya untuk berwakaf. “Alhamdulillah saat ini sudah hampir 1.000 perusahaan turut ikut dalam Global Wakaf, untuk mewakafkan sebagian sahamnya untuk kepentingan umat,” ujar Ahyudin. []